Selasa, 18 November 2014

PENGIMPLEMENTASIAN TEKNOLOGI BAGI PABBAJTA
DI ERA MODERN DIKAITKAN DENGAN VINAYA
Oleh : Sucitta Rantia Dewi
Pendahuluan :
Di era modern ini, teknologi bukanlah hal yang awam kita dengar. Djoyohadikusumo  dalam Herufal (1994 : 222) mengatakan bahwa teknologi berkaitan erat dengan sains (science) dan perekayasaan (engineering). Dengan kata lain, teknologi mengandung dua dimensi, yaitu science dan engineering yang saling berkaitan satu sama lainnya. Sains mengacu pada pemahaman kita tentang dunia nyata sekitar kita, artinya mengenai ciri-ciri dasar pada dimensi ruang, tentang materi dan energi dalam interaksinya satu terhadap lainnya. Berkaitan dengan teknologi, kini banyak yang menggunakan teknologi. Seperti halnya sosial media yang peminatnya sudah banyak. Hal itu disebutkan oleh Wahono, T. (2012, February 1). Jumlah Pengguna Facebook Indonesia disusul India. Kompas mengatakan bahwa Indonesia merupakan pengguna sosial media yang cukup banyak.  Dalam hal facebook yakni Indonesia memiliki 43, 06 Juta pengguna. Jika dikaitkan teknologi ini sangat erat kaitannya dengan perubahan zaman yang terus menerus berevolusi, bahkan kini para pabbajta pun harus mengikuti perubahan zaman ini.
Kini banyak sekali bhikkhu yang sudah mulai mengikuti perkembangan zaman ini dengan menggunakan handphone, jejaring sosial, dan hal-hal yang lain untuk berdiskusi dhamma dengan umat, seperti yang dapat kita temui di beberapa akun. Di dalam facebook ada beberapa account yang di miliki oleh pabbajta, contohnya account dari Bhante Pasura Dhantamano. Bhante Pasura adalah salah satu bhante yang berasal dari Thailand. Bhante Pasura cukup aktif di facebooknya. Bagaimana hal ini jika dikaitkan dengan vinaya? Hal tersebut sering kali ditanyakan oleh umat awam, dan sering pula menjadi topik dalam diskusi dhamma.
Pembahasan :
Pabbajta[1] erat kaitannya dengan vinaya, segala perbuatan yang di lakukan di kaji di dalam vinaya dan vinaya sifatnya mengikat bagi para pabbajta. Rashid (2009 : 24 ) menyatakan bahwa vinaya  memiliki pengertian yakni melenyapkan, menghapuskan segala sesuatu yang sifatnya menghalangi kemajuan batin seorang pabbajta.
Pabbajta di era Buddha berbeda dengan pabbajta di era modern ini.  Di era modern tidak lepas kaitannya dengan Ilmu pengetahuan, dalam agama Buddha ada beberapa sifat Ilmu Pengetahuan yang berkaitan. Menurut Spencer (2004 : 30 ) mengatakan bahwa agama Buddha ialah suatu sistem, yang mempunyai pandangan yang objektif dan mandiri, mengenai sifat dan tujuan manusia.  Pandangan objektif yang berupa pandangan yang apa adanya serta disini pula dibahas mengenai mandiri, artinya mandiri disini adalah mandiri dalam hal sifat manusia. Seperti halnya sifat manusia yang mengikuti era modern ini jadi dalam agama Buddha tidak kaku dalam pemandangan hal seperti itu. Di era Buddha peraturan vinaya lebih ketat dibandingkan dengan  era sekarang. Vinaya pada era Buddha masih utuh seperti yang di babarkan oleh Sang Buddha, namun sejak terjadi konsili II di kota Vesali maka vinaya mengalami perubahan. Perubahan ini terjadi di karenakan adanya penyimpangan yang terjadi dalam praktik vinaya. Khususnya pada saat itu penyimpangan yang terjadi pada suku vajji. Di dalam konsili II ini terjadilah perpecahan antara Sarvasthivada[2] dan Mahasanghika[3], dengan adanya perpecahan ini maka vinaya pengalami perubahan khususnya pada vinaya kecil. Hal ini pula yang menyebabkan vinaya pada Theravada berbeda dengan vinaya pada Mahayana.
Dalam Theravada vinaya pada bhikkhu berjumlah 227 berbeda kiatannya dengan vinaya dalam Mahayana, hal ini karena dalam Mahayana vinaya ada yang sedikit di ubah sehingga peraturannya ada beberapa tambahan. Hal ini yang mungkin menjadi sebuah pelopor mengapa teknologi dalam era modern ini berkembang pada anggota Sangha khususnya Mahayana. Hal itu dikaitkan dengan perubahan yang terjadi di konsili ke II. Di dalam vinaya dikatakan bahwa vinaya memiliki sifat yakni tidak kaku. Namun ada beberapa peraturan yang memang tidak dapat diubah. Pada teknologi yang sedang berkembang pesat ini, para pabbajta tidak di salahkan apabila menggunakan handphone, sosial media, ataupun alat teknologi lainnya. Teknologi yang digunakan ini harus memiliki tujuan untuk menyebarkan dhamma, bukan untuk hal-hal yang negatif. Sigalovada Sutta dalam buku Materi Agama Buddha Untuk Perguruan Tinggi Agama Buddha ( 2003 : 90) menyatakan bahwa bhikkhu harus memberikan suri tauladan yang baik, dhamma yang bermanfaat bagi gharavasa. Ini jika disimpulkan dan mengacu kepada vinaya. Hal tersebut tidak disalahkan, karena dilihat dari segi tujuan adalah demi kepentingan dhamma yang manfaatnya dirasakan pula oleh gharavasa[4]. Dilihat pada era Buddha sosial media belum ada. Sehingga hal semacam ini tidak di masukan ke dalam vinaya, dan jika dibandingkan pula kemampuan pabbajta di era Buddha sangat berbeda sekali dengan era sekarang. Jika di era Buddha para pabbajta memiliki kemampuan yang di luar akal manusia sehingga tidak perlu sosial media untuk menyebarluaskan dhamma. Sehingga menurut pandangan Buddhisme pabbajta yang menggunakan sosial media, handphone, atau alat-alat lain yang mendukung kemajuan dhamma tidak dilarang, asalkan alat itu benar-benar di lakukan untuk mendukung kemajuan dhamma. Seperti untuk sharing dhamma, diskusi dhamma atau hal-hal yang lain.
Penutup :
Dari artikel ini dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya vinaya itu merupakan hal yang tidak kaku, tidak harus diperdebatkan apakah salah atau tidak jika seorang pabbajta melakukan hal baru namun tidak terdapat dalam vinaya. Kita dapat menelisik sebenarnya bagaimana seorang pabbajta melakukan hal itu serta dapat kita lihat pula apakah motif dari seorang pabbajta menggunakan teknologi di era modern ini. Motif tersebut merupakan tujuan serta manfaat dalam penggunaannya. Apabila penggunaan teknologi ini memiliki tujuan untuk kemajuan dhamma maka hal itu baik, dan jangan ditinggalkan. Tapi sebaliknya jika hal itu tidak bermanfaat maka di tinggalkan.
Implikasinya dapat kita rasakan sebagai umat awam apakah dengan seorang pabbajta memiliki sosial media dapat membantu kita dalam memperdalam agama Buddha atau tidak. Namun menurut saya hal ini sangat memiliki implikasi yang sangat besar bagi saya, karena dengan ini saya sebagai mahasiswa mendapat banyak pengetahuan dalam menjawab soal-soal yang ada di masyarakat maupun di kampus, jadi ini sangat membawa pengaruh yang positif  bagi saya pribadi.
Referensi :
Rasyid, S.2009.Sila dan Vinaya.Jakarta: Buddhis Boddhi.
Sugiarto, R.2014.Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan.Jakarta: Aryasuryacandra.
Tim Penyusun.2003.Materi Kuliah Agama Buddha Untuk Perguruan Tinggi Agama Buddha (Kitab Suci Vinaya Pitaka.Jakarta:CV. Dewi Kayana Abadi.
Wahono, Tri.2012.” Jumlah Pengguna Facebook Indonesia disusul India”.Kompas.1 Februari.
Herufal.2010. “Pengertian Teknologi” (On-Line). http://blog.trisakti.ac.id/herufal/2010/11/04/pengertian-teknologi/. 13 November 2014


[1] Pabbajta adalah seseorang yang meninggakan kehidupan keduniawian atau dapat pula disebut bhikkhu

[2] Sarvasthivada yakni cikal bakal dari theravada.
[3] Mahasanghika yakni cikal bakal dari mahayana.
[4] Gharavasa yakni para perumah tangga atau dapat pula di sebut umat awam.

Minggu, 16 November 2014

Serigala Jakarta Yang Terus Menuntutku
Oleh : Sucitta Rantia Dewi

Hari ini aku berjuang kembali, berjuang ditengah kehidupan metropolitan yang sungguh indah bagi para petinggi di dalamnya. Namaku Nia, sebuah nama yang diberikan oleh orang tuaku ketika aku dilahirkan di dunia ini. Aku sungguh bangga dengan namaku, karena dengan nama itulah aku dapat dikenal oleh teman-temanku. Kini aku duduk di kelas 2 SMA. Sekolah menurutku hal yang sangat luar biasa, disini aku dapat belajar, dan selain itu disini pula tempat untuk aku istirahat, setelah aku kerja mati-matian menjadi seorang kenek metromini yang kerjanya tak tentu sampai kapan. Kadang aku harus kerja hingga larut malam yang paginya aku harus sekolah. Sungguh jika harus jujur aku ingin berkata “Oh Tuhan, Aku lelah. Aku ingin istirahat”, namun aku harus bisa menghilangkan rasa itu. Kalau tidak, bayangkan bagaimana aku bisa bertahan di kota sebesar ini.
Kota ini menuntutku agar aku terus bertahan dalam dirinya, bagaikan seekor serigala yang terus menuntutku untuk memenuhi perutnya yang lapar. “Beri aku makan, beri aku makan atau aku akan memakanmu” teriak sang serigala itu didalam pikiranku. Rasanya lelah, namun jika dibayangkan apabila aku lelah siapa yang akan menopang hidupku ini? ibu dan bapak sudah renta, ibu kini hanya bisa berjualan dirumah setelah kecelakaan itu menimpa ibuku, sedangkan bapak kini hanya menjadi buruh serabutan di toko. Aku tak tega jika harus minta kepada mereka. Apalagi meminta kebutuhan untuk sekolah, malu rasanya. Jika aku bersandar pada lelah saja, itu sama seperti aku menyerahkan diriku ini kepada serigala itu.  Atau dikatakan MATII!!!!. Iya mati di tengah kota Jakarta ini. Harus mati di tengah-tengah penduduk Jakarta yang berjumlah 10.187.595 jiwa, data itu kudapatkan pada tahun 2011 dan kini  sudah tahun 2014 pasti banyak sekali pertambahan penduduk yang terjadi, maklumlah Jakarta memang selalu menjadi  sebuah kota  favorit. Padahal semua tempat di kota ini sudah di penuhi oleh para pendatang yang ingin mengadu nasib, sampai-sampai manusia berjubelan dimana-mana. Rumah-rumah kumuh ada di sepanjang sudut kota Jakarta. Seperti rumahku ini, sebuah gubuk kecil yang ada di tengah kota Jakarta yang memiliki ukuran kurang lebih 3 x 4 meter yang harus ditinggali oleh aku, ibu, dan bapak. Sebenarnya aku tak tau sampai kapan aku disini, aku ketar ketir hidup disini, aku takut ada penertiban dari pemerintah daerah dan penggusuran wilayah ini. Namun apa daya, aku tak bisa pindah dari tempat ini. Bapak selalu menyangkal bahwa tempat ini telah menjadi miliknya. Padahal aku tau ini merupakan tempat yang salah, ketika aku mencoba mengingatkan bapak dan bapak selalu berkata:
“ Tau apa kamu tentang tempat ini? bapak yang lebih lama tinggal disini Nia, kamu jangan ikut campur urusan bapak”
 Sebagai seorang anak aku hanya dapat mengikuti apa yang dikatakan oleh bapak, yang dapat aku lakukan hanyalah aku harus pandai. Pandai dalam mencari celah untuk memenuhi perut serigala itu. Kini aku hanya bisa membantu bapak dengan sedikit caraku, yakni dengan menjadi seorang kenek.
Tak jarang aku diledeki oleh teman-teman sekolahku. Dicemooh “cewek kampungan, cewek metromini” kadang aku malu. Tapi aku pikir lagi, aku disini untuk hidup. Memperjuangkan hidupku, apabila aku tak disini aku mati. Sama saja aku berserah pada serigala itu. Aku lebih mending ditertawai oleh teman-temanku dibanding harus melihat orang tuaku merintih-rintih kelelahan untuk memenuhi kebutuhanku. Pengalaman pahit mengajariku untuk lebih dewasa ketika aku harus berjuang memenuhi kebutuhan berobat ibuku, pengalaman itu terjadi ketika aku sedang sekolah. Ibuku tertabrak oleh mobil dan bayangkan mobil itu tidak memberikan dana sedikitpun untuk ibuku sebagai biaya pengobatan. Mobil itu kabur setelah menabrak ibuku. Aku sangat terpuruk sekali saat itu, aku harus meminjam uang sebesar 50 juta unt.k biaya pengobatan ibuku. Entah karma buruk apa yang terjadi kepadaku. Saat itu ibuku sempat berkata dalam kondisi sakitnya :
“Nia, kalo ibu tidak bersamamu lagi, Ibu mohon kamu jaga bapak ya”
Tangis menderaku kala itu, aku tak mau kehilangan satu malaikat dalam hidupku. Aku ingin kami terus bersama sampai akhirnya kesembuhan itu akan tiba. Kini ibuku dapat kembali ke kehidupan seperti biasanya, rasanya senang sekali bagaikan mendapatkan sebongkah berlian. Namun seperti yang dikatakan dokter, ia harus istirahat total dan tak bisa bekerja keras. Dan karena hal itulah ibu kini hanya bisa membuka toko kecil didepan rumah. Jika aku terus berpikir tidak mau bekerja dibidang ini, maka aku sama saja pasrah pada keadaan. Namun hanya dengan pekerjaan inilah yang membuatku nyaman. Dengan pekerjaan ini aku bisa melunasi sedikit demi sedikit hutang ibuku. Ini pekerjaan yang membuatku nyaman, karena dengan pekerjaan ini aku bisa pulang-pergi ke sekolah gratis. Ini efek samping yang aku sukai saat menjadi kenek, karena jika kerja di tempat lain aku harus mengeluarkan uang untuk ongkos. Selain itu aku pernah mencoba untuk kerja di salah satu kafe sebagai seorang pelayan namun aku dipecat karena ternyata waktu yang tak mendukung aku berada disini. Aku sering telat datang,  taulah bagaimana macetnya ibukota yang di setiap sudut ada saja yang namanya kemacetan. Jika di metromini ini aku bebas bisa datang kapan saja, jelas saja karena pemilik metromini ini adalah tetanggaku.

Malam ini semilir angin telah menemaniku berpasangan dengan cahaya lampu yang terus tersenyum melihatku dikala malam, ditambah suara klakson bagaikan suara harmonika yang menemaniku saat aku berkata “Blok M,  Blok M” kini aku berpikir  bagaikan seorang penyanyi ditemani oleh paduan orkestra yang sangat indah. Hal ini telah terjadi selama satu tahun belakangan ini, hanya itulah yang membangkitkanku dalam pekerjaan ini. Entah sampai kapan aku akan mengakhiri ini semua. Tapi yang jelas, AKU TIDAK AKAN MENYERAHKAN DIRIKU KEPADA SERIGALA ITU!! tidak akan pernah sampai kapanpun. Aku harus terus memberikan perut serigala itu makan hingga serigala itu kenyang dan akhirnya mati.