Serigala Jakarta Yang Terus Menuntutku
Oleh : Sucitta Rantia Dewi
Hari
ini aku berjuang kembali, berjuang ditengah kehidupan metropolitan yang sungguh
indah bagi para petinggi di dalamnya. Namaku Nia, sebuah nama yang diberikan
oleh orang tuaku ketika aku dilahirkan di dunia ini. Aku sungguh bangga dengan
namaku, karena dengan nama itulah aku dapat dikenal oleh teman-temanku. Kini
aku duduk di kelas 2 SMA. Sekolah menurutku hal yang sangat luar biasa, disini
aku dapat belajar, dan selain itu disini pula tempat untuk aku istirahat, setelah
aku kerja mati-matian menjadi seorang kenek metromini yang kerjanya tak tentu
sampai kapan. Kadang aku harus kerja hingga larut malam yang paginya aku harus
sekolah. Sungguh jika harus jujur aku ingin berkata “Oh Tuhan, Aku lelah. Aku ingin istirahat”, namun aku harus bisa
menghilangkan rasa itu. Kalau tidak, bayangkan bagaimana aku bisa bertahan di
kota sebesar ini.
Kota
ini menuntutku agar aku terus bertahan dalam dirinya, bagaikan seekor serigala
yang terus menuntutku untuk memenuhi perutnya yang lapar. “Beri aku makan, beri aku makan atau aku akan memakanmu” teriak sang
serigala itu didalam pikiranku. Rasanya lelah, namun jika dibayangkan apabila
aku lelah siapa yang akan menopang hidupku ini? ibu dan bapak sudah renta, ibu
kini hanya bisa berjualan dirumah setelah kecelakaan itu menimpa ibuku,
sedangkan bapak kini hanya menjadi buruh serabutan di toko. Aku tak tega jika
harus minta kepada mereka. Apalagi meminta kebutuhan untuk sekolah, malu
rasanya. Jika aku bersandar pada lelah saja, itu sama seperti aku menyerahkan
diriku ini kepada serigala itu. Atau
dikatakan MATII!!!!. Iya mati di tengah kota Jakarta ini. Harus mati di tengah-tengah
penduduk Jakarta yang berjumlah 10.187.595 jiwa, data itu kudapatkan pada tahun
2011 dan kini sudah tahun 2014 pasti
banyak sekali pertambahan penduduk yang terjadi, maklumlah Jakarta memang selalu
menjadi sebuah kota favorit. Padahal semua tempat di kota ini
sudah di penuhi oleh para pendatang yang ingin mengadu nasib, sampai-sampai manusia
berjubelan dimana-mana. Rumah-rumah kumuh ada di sepanjang sudut kota Jakarta.
Seperti rumahku ini, sebuah gubuk kecil yang ada di tengah kota Jakarta yang
memiliki ukuran kurang lebih 3 x 4 meter yang harus ditinggali oleh aku, ibu,
dan bapak. Sebenarnya aku tak tau sampai kapan aku disini, aku ketar ketir
hidup disini, aku takut ada penertiban dari pemerintah daerah dan penggusuran
wilayah ini. Namun apa daya, aku tak bisa pindah dari tempat ini. Bapak selalu
menyangkal bahwa tempat ini telah menjadi miliknya. Padahal aku tau ini
merupakan tempat yang salah, ketika aku mencoba mengingatkan bapak dan bapak
selalu berkata:
“
Tau apa kamu tentang tempat ini? bapak yang lebih lama tinggal disini Nia, kamu
jangan ikut campur urusan bapak”
Sebagai seorang anak aku hanya dapat mengikuti
apa yang dikatakan oleh bapak, yang dapat aku lakukan hanyalah aku harus
pandai. Pandai dalam mencari celah untuk memenuhi perut serigala itu. Kini aku
hanya bisa membantu bapak dengan sedikit caraku, yakni dengan menjadi seorang
kenek.
Tak
jarang aku diledeki oleh teman-teman sekolahku. Dicemooh “cewek kampungan, cewek metromini” kadang aku malu. Tapi aku pikir
lagi, aku disini untuk hidup. Memperjuangkan hidupku, apabila aku tak disini
aku mati. Sama saja aku berserah pada serigala itu. Aku lebih mending
ditertawai oleh teman-temanku dibanding harus melihat orang tuaku
merintih-rintih kelelahan untuk memenuhi kebutuhanku. Pengalaman pahit
mengajariku untuk lebih dewasa ketika aku harus berjuang memenuhi kebutuhan
berobat ibuku, pengalaman itu terjadi ketika aku sedang sekolah. Ibuku
tertabrak oleh mobil dan bayangkan mobil itu tidak memberikan dana sedikitpun
untuk ibuku sebagai biaya pengobatan. Mobil itu kabur setelah menabrak ibuku.
Aku sangat terpuruk sekali saat itu, aku harus meminjam uang sebesar 50 juta
unt.k biaya pengobatan ibuku. Entah karma buruk apa yang terjadi kepadaku. Saat
itu ibuku sempat berkata dalam kondisi sakitnya :
“Nia,
kalo ibu tidak bersamamu lagi, Ibu mohon kamu jaga bapak ya”
Tangis
menderaku kala itu, aku tak mau kehilangan satu malaikat dalam hidupku. Aku
ingin kami terus bersama sampai akhirnya kesembuhan itu akan tiba. Kini ibuku
dapat kembali ke kehidupan seperti biasanya, rasanya senang sekali bagaikan
mendapatkan sebongkah berlian. Namun seperti yang dikatakan dokter, ia harus
istirahat total dan tak bisa bekerja keras. Dan karena hal itulah ibu kini
hanya bisa membuka toko kecil didepan rumah. Jika aku terus berpikir tidak mau
bekerja dibidang ini, maka aku sama saja pasrah pada keadaan. Namun hanya
dengan pekerjaan inilah yang membuatku nyaman. Dengan pekerjaan ini aku bisa
melunasi sedikit demi sedikit hutang ibuku. Ini pekerjaan yang membuatku
nyaman, karena dengan pekerjaan ini aku bisa pulang-pergi ke sekolah gratis. Ini
efek samping yang aku sukai saat menjadi kenek, karena jika kerja di tempat
lain aku harus mengeluarkan uang untuk ongkos. Selain itu aku pernah mencoba
untuk kerja di salah satu kafe sebagai seorang pelayan namun aku dipecat karena
ternyata waktu yang tak mendukung aku berada disini. Aku sering telat datang, taulah bagaimana macetnya ibukota yang di
setiap sudut ada saja yang namanya kemacetan. Jika di metromini ini aku bebas
bisa datang kapan saja, jelas saja karena pemilik metromini ini adalah
tetanggaku.
Malam
ini semilir angin telah menemaniku berpasangan dengan cahaya lampu yang terus tersenyum
melihatku dikala malam, ditambah suara klakson bagaikan suara harmonika yang
menemaniku saat aku berkata “Blok M, Blok M” kini aku berpikir bagaikan seorang penyanyi ditemani oleh paduan
orkestra yang sangat indah. Hal ini telah terjadi selama satu tahun belakangan
ini, hanya itulah yang membangkitkanku dalam pekerjaan ini. Entah sampai kapan
aku akan mengakhiri ini semua. Tapi yang jelas, AKU TIDAK AKAN MENYERAHKAN
DIRIKU KEPADA SERIGALA ITU!! tidak akan pernah sampai kapanpun. Aku harus terus
memberikan perut serigala itu makan hingga serigala itu kenyang dan akhirnya
mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar