Minggu, 16 November 2014

Serigala Jakarta Yang Terus Menuntutku
Oleh : Sucitta Rantia Dewi

Hari ini aku berjuang kembali, berjuang ditengah kehidupan metropolitan yang sungguh indah bagi para petinggi di dalamnya. Namaku Nia, sebuah nama yang diberikan oleh orang tuaku ketika aku dilahirkan di dunia ini. Aku sungguh bangga dengan namaku, karena dengan nama itulah aku dapat dikenal oleh teman-temanku. Kini aku duduk di kelas 2 SMA. Sekolah menurutku hal yang sangat luar biasa, disini aku dapat belajar, dan selain itu disini pula tempat untuk aku istirahat, setelah aku kerja mati-matian menjadi seorang kenek metromini yang kerjanya tak tentu sampai kapan. Kadang aku harus kerja hingga larut malam yang paginya aku harus sekolah. Sungguh jika harus jujur aku ingin berkata “Oh Tuhan, Aku lelah. Aku ingin istirahat”, namun aku harus bisa menghilangkan rasa itu. Kalau tidak, bayangkan bagaimana aku bisa bertahan di kota sebesar ini.
Kota ini menuntutku agar aku terus bertahan dalam dirinya, bagaikan seekor serigala yang terus menuntutku untuk memenuhi perutnya yang lapar. “Beri aku makan, beri aku makan atau aku akan memakanmu” teriak sang serigala itu didalam pikiranku. Rasanya lelah, namun jika dibayangkan apabila aku lelah siapa yang akan menopang hidupku ini? ibu dan bapak sudah renta, ibu kini hanya bisa berjualan dirumah setelah kecelakaan itu menimpa ibuku, sedangkan bapak kini hanya menjadi buruh serabutan di toko. Aku tak tega jika harus minta kepada mereka. Apalagi meminta kebutuhan untuk sekolah, malu rasanya. Jika aku bersandar pada lelah saja, itu sama seperti aku menyerahkan diriku ini kepada serigala itu.  Atau dikatakan MATII!!!!. Iya mati di tengah kota Jakarta ini. Harus mati di tengah-tengah penduduk Jakarta yang berjumlah 10.187.595 jiwa, data itu kudapatkan pada tahun 2011 dan kini  sudah tahun 2014 pasti banyak sekali pertambahan penduduk yang terjadi, maklumlah Jakarta memang selalu menjadi  sebuah kota  favorit. Padahal semua tempat di kota ini sudah di penuhi oleh para pendatang yang ingin mengadu nasib, sampai-sampai manusia berjubelan dimana-mana. Rumah-rumah kumuh ada di sepanjang sudut kota Jakarta. Seperti rumahku ini, sebuah gubuk kecil yang ada di tengah kota Jakarta yang memiliki ukuran kurang lebih 3 x 4 meter yang harus ditinggali oleh aku, ibu, dan bapak. Sebenarnya aku tak tau sampai kapan aku disini, aku ketar ketir hidup disini, aku takut ada penertiban dari pemerintah daerah dan penggusuran wilayah ini. Namun apa daya, aku tak bisa pindah dari tempat ini. Bapak selalu menyangkal bahwa tempat ini telah menjadi miliknya. Padahal aku tau ini merupakan tempat yang salah, ketika aku mencoba mengingatkan bapak dan bapak selalu berkata:
“ Tau apa kamu tentang tempat ini? bapak yang lebih lama tinggal disini Nia, kamu jangan ikut campur urusan bapak”
 Sebagai seorang anak aku hanya dapat mengikuti apa yang dikatakan oleh bapak, yang dapat aku lakukan hanyalah aku harus pandai. Pandai dalam mencari celah untuk memenuhi perut serigala itu. Kini aku hanya bisa membantu bapak dengan sedikit caraku, yakni dengan menjadi seorang kenek.
Tak jarang aku diledeki oleh teman-teman sekolahku. Dicemooh “cewek kampungan, cewek metromini” kadang aku malu. Tapi aku pikir lagi, aku disini untuk hidup. Memperjuangkan hidupku, apabila aku tak disini aku mati. Sama saja aku berserah pada serigala itu. Aku lebih mending ditertawai oleh teman-temanku dibanding harus melihat orang tuaku merintih-rintih kelelahan untuk memenuhi kebutuhanku. Pengalaman pahit mengajariku untuk lebih dewasa ketika aku harus berjuang memenuhi kebutuhan berobat ibuku, pengalaman itu terjadi ketika aku sedang sekolah. Ibuku tertabrak oleh mobil dan bayangkan mobil itu tidak memberikan dana sedikitpun untuk ibuku sebagai biaya pengobatan. Mobil itu kabur setelah menabrak ibuku. Aku sangat terpuruk sekali saat itu, aku harus meminjam uang sebesar 50 juta unt.k biaya pengobatan ibuku. Entah karma buruk apa yang terjadi kepadaku. Saat itu ibuku sempat berkata dalam kondisi sakitnya :
“Nia, kalo ibu tidak bersamamu lagi, Ibu mohon kamu jaga bapak ya”
Tangis menderaku kala itu, aku tak mau kehilangan satu malaikat dalam hidupku. Aku ingin kami terus bersama sampai akhirnya kesembuhan itu akan tiba. Kini ibuku dapat kembali ke kehidupan seperti biasanya, rasanya senang sekali bagaikan mendapatkan sebongkah berlian. Namun seperti yang dikatakan dokter, ia harus istirahat total dan tak bisa bekerja keras. Dan karena hal itulah ibu kini hanya bisa membuka toko kecil didepan rumah. Jika aku terus berpikir tidak mau bekerja dibidang ini, maka aku sama saja pasrah pada keadaan. Namun hanya dengan pekerjaan inilah yang membuatku nyaman. Dengan pekerjaan ini aku bisa melunasi sedikit demi sedikit hutang ibuku. Ini pekerjaan yang membuatku nyaman, karena dengan pekerjaan ini aku bisa pulang-pergi ke sekolah gratis. Ini efek samping yang aku sukai saat menjadi kenek, karena jika kerja di tempat lain aku harus mengeluarkan uang untuk ongkos. Selain itu aku pernah mencoba untuk kerja di salah satu kafe sebagai seorang pelayan namun aku dipecat karena ternyata waktu yang tak mendukung aku berada disini. Aku sering telat datang,  taulah bagaimana macetnya ibukota yang di setiap sudut ada saja yang namanya kemacetan. Jika di metromini ini aku bebas bisa datang kapan saja, jelas saja karena pemilik metromini ini adalah tetanggaku.

Malam ini semilir angin telah menemaniku berpasangan dengan cahaya lampu yang terus tersenyum melihatku dikala malam, ditambah suara klakson bagaikan suara harmonika yang menemaniku saat aku berkata “Blok M,  Blok M” kini aku berpikir  bagaikan seorang penyanyi ditemani oleh paduan orkestra yang sangat indah. Hal ini telah terjadi selama satu tahun belakangan ini, hanya itulah yang membangkitkanku dalam pekerjaan ini. Entah sampai kapan aku akan mengakhiri ini semua. Tapi yang jelas, AKU TIDAK AKAN MENYERAHKAN DIRIKU KEPADA SERIGALA ITU!! tidak akan pernah sampai kapanpun. Aku harus terus memberikan perut serigala itu makan hingga serigala itu kenyang dan akhirnya mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar